
DETIK-DETIK GENTING ITU..
Seperti perjalanan hari, ia datang dari pagi nya, pergi melalui siangnya, lalu berakhir pada malamnya. Sepanjang perputaran itu, ada detik-detik kritisnya. Seperti terik pada puncak siangnya. Atau pekat pada puncak malamnya. Begitu pulalah kehidupan ini.
Seperti sebuah pendakian tak berkesudahan, ada saat-saat genting di mana hidup kita bertumpu pada seonggok batu. Sedikit salah melangkah kita bisa terlempar ke dasar jurang. Tetapi bila kita lolos, kita bisa terus melenggang menapaki tanah-tanah datar. Untuk kemudian melanjutkan pendakian kembali.
Ada banyak dimensi detik-detik genting sepanjang kehidupan kita. Sebagiannya bisa berpulang kepada kepribadian kita. Sebagian yang lain kembali kepada peristiwa-peristiwa yang melingkupi kita. Tetapi secara keyakinan iman, tentu, ada skenario Allah di balik takdir-takdirnya. Yang memberi susah atau gampang kepada hamba-hamba-Nya.
Beberapa hal berikut, di antara detik-detik genting yang mungkin bisa menjadi cermin, untuk kita menata diri, menyiapkan bekal yang memadai.
1. Detik genting ketika menjelang baligh.
Dari keseluruhan prosesi hidup, detik-detik memasuki usia baligh adalah saat-saat genting yang harus diperhatikan. Sejak saat itulah seluruh hukum yang berkaitan dengan diri seorang muslim berlaku.
Ada kewajiban keagamaanyang harus dijalankan. Yang bila ditinggalkan maka ia akan terkena sanksi, mendapat status dosa. Ada larangan agama yang tidak boleh dilanggar. Yang bila diterjang akan berakibat fatal. Demikian juga dalam soal mu’amalah. Dalam soal hubungan transaksional kemanusiaan. la sudah sah untuk melakukan jual beli. Bila ia membuat kerugian ia bisa dituntutsecara perdata. Begitu seterusnya.
Karena itulah, kalau kita perhatikan, Rasulullah memberi perhatian besar kepada kita, untuk menyiapkan seseorang memasuki usia baligh dengan persiapan yang memadai.
Dalam konteks ibadah, Rasululullah memerintahkan kita mengajari anak-anak kita sholat sejah usia tujuh tahun. Rasulullah saw bersabda, “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka (jika mereka tidak mengerjakannya) pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.” (laki-laki dan perempuan) (HR Abu Daud).
Hadits di atas memberi isyarattentang dua masalah penting yang harus diperhatikan, pada saat seseorang menginjak usia baligh. Pertama, berkaitan dengan soal kewajiban keagamaan, yang disimbolkan dengan sholat. Dan, kedua, berkaitan dengan soal moralitas, yang disimbolkan dengan pemisahan tempat tidur antara laki-laki dan perempuan.
Usia baligh seseorang memang berbeda-beda, tetapi pemilihan sepuluh tahun, barangkali merupakan usia paling cepat dari fase baligh seseorang. Di samping, juga merupakan usia persiapan yang memadai untuk mereka yang baligh pada usia sesudahnya.
Karena itulah, detik-detik genting seseorang yang sudah memasuki usia baligh harus disiapkan dengan baik, diarahkan dengan benar. Terlebih dalam dua soal tersebut, soal kewajiban-kewajiban ibadah dan soal moralitas.
2. Detik genting di rumah tangga.
Dalam perjalanan hidup, rumah tangga punya saat-saat gentingnyayang khas. Sesuatu yang mungkin hanya ada pada pola hubungan suami dan istri, anak dan orang tua dan tidak ada pada hubungan orang-orangyang masih membujang.
Detik-detik genting di dalam sebuah rumah tangga, bila tidak dijalani dengan baik, bisa berakhir dengan petaka. Dalam kehidupan rumah tangga Rasul sekalipun, ada masa-masa genting yang cukup mengguncang. Ketika itu Aisyah, dituduh menyeleweng. Api permusuhan orang-orang munafik membakar isu itu.
Kisahnya bermula usai perang Bani Musthaliq. Aisyah tertinggal rombongan karena buang hajat. Setelah beranjak berjalan, ia kehilangan kalung. Aisyah pun kembali mencari. Pembawa tandu Aisyah tidak mengetahui kalau di dalam tandu itu belum ada Aisyah.
Usai mencari kalung, Aisyah kembali hendak pulang. Tapi ia tidak menemukan seorang pun lagi di sana. Akhirnya, ia ditemukan oleh Shafwan bin Muatthal. Shafwan kemudian merendahkan ontanya lalu Aisyah naik di atasnya tanpa sepatah katapun keluar dari mulut keduanya.
Setelah sampai di Nahrad-Dhahirah, tanpa sepengetahuan Aisyah, tersiarlah berita yang tidak mengenakkan. Fitnah itu bersumber dari mulut Abdullah bin Ubay.
Setibanya di Madinah, kesehatan Aisyah terganggu. Desas-desus itu semakin kuat terdengar namun ia belum mendengarnya. Hanya saja kelembutan Rasulullah yang biasa dirasakannya terasa berkurang. Hingga suatu malam, Ummu Masthah menceritakannya. Setelah mendengar cerita itu sakit Aisyah semakin parah. Malam itu ia menangis terus menerus hingga pagi.
Rasulullah saw yang juga sangat terpengaruh dengan berita ini, meminta pandangan para sahabatnya, bertanya pada pelayannya, Barirah. “Apakah kamu melihat sesuatu yang mecurigakan dari Aisyah?”
Barirah menjawab, “Aku tidak mengetahui Aisyah kecuali orang yang baik-baik.”
Sampai suatu hari, Rasulullah berkata kepada Aisyah, “Hai Aisyah, aku telah mendengar apa yang telah dibicarakn orang tentang dirimu. Jika engkau tidak bersalah, Allah pasti akan membebaskan dirimu. Jika engkau telah melakukan dosa, mintalah ampunan kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya.”
Mendengar ucapan itu, air matanya tambah bercucuran. Kemudian berkata kepada ayah dan ibunya, “Berilah jawaban kepada Rasulullah mengenai diriku.” Ayah dan ibunya menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu bagaimana harus menjawab.”
Itu benar-benar menjadi saat-saat genting dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah. Hingga akhirnya, Allah menurunkan Surat An-Nur ayaat 11 sampai 21, yang menjelaskan bahwa berita yang dituduhkan kepada Aisyah adalah bohong dan dusta.
3. Detik genting di pentas kekuasaan.
Di pentas kekuasaan, dalam tradisi kaum muslimin sekalipun, ada detik-detik genting yang pasti dilalui. Pergantian kekuasaan itu salah satunya. Pewarisan dari satu penguasa ke penguasa berikutnya. Atau dari penguasa yang satu ke penguasa yang lain. Fase-fase yang dilalui pada momen itu adalah detik-detik genting kekuasaan.
Detik genting kekuasaan ada yang berh-bungan dengan proses pergantian kekuasaan itu. Seperti apa yang terjadi pada masa Rasulullah. Sesaat setelah Rasulullah wafat, sejenak sempat terjadi situasi yang memanas, tentang siapa yang akan menggantikan Rasulullah.
Dua golongan besar yang telah dibina dan dididik Rasulullah melalui persaudaraan ketika peristiwa hijrah, tiba-tiba masing-masing merasa berhak atas kepemimpinan yang ditinggalkannya.
Di Saqifah Bani Saidah, tempat orang-orang Anshar berkumpul, Abu Bakar dan Umar datang. Tak lama, seorang dari mereka berdiri dan berpidato. Dia memuji Allah sebagaimana seharusnya, lalu berkata, “Kami adalah penolong Allah dan pasukan Islam. Kamu sekalian wahai orang-orang Muhajirin adalah bagian dari kami. Kalian datang kepada kami dan kalian ingin
mengesampingkan kami, dan merampas kekuasaan kami.”
Mendengar itu, Abu Bakar berdiri dan berpidato. “Adapun yang engkau sebutkan tentang kebaikan-kebaikan yang ada pada kalian, maka itu adalah hak kalian. Namun orang-orang Arab tidak mengakui kepemimpinan selain orang Quraisy, mereka adalah orang berasal dari keturunan yang terbaik dan dari tempat yang terbaik. Saya rela jika memilih salah seorang dari dua orang ini (Umar dan Abu Ubaidah). Maka baiatlah ia sebagaimana kalian suka.” Setelah itu, ia mengambil kedua tangan dua sahabatnya itu.
Umar sangat tidak senang dengan ucapan Abu Bakar yang terakhir ini. Ia pun berkata, “Demi Allah, lebih baik leher saya dipenggal daripada saya maju menjadi pemimpin di saat masih ada Abu Bakar.
Seorang dari Anshar berdiri dan berkata, “Dari kami ada pemimpin dan dari kalian ada pemimpin, wahai orang-orang Quraiys.”
Kegaduhan dan teriak-teriakan pun tak dapat dielakkan, sehingga sangat mengkhawatirkan sekali terjadi persengketaan.
Saat itu juga Umar bangkit dan dengan lantang di berteriak, “Angkat tanganmu, wahai Abu Bakar! Abu Bakar mengangkat tangannya lalu Umar membaiatnya dan kaum Muhajirin pun mengikutinya, begitu juga kaum Anshar.
Umar berkata, “Saya tidak pernah menghadiri sama sekali satu majelis yang sangat genting dan lebih mendapat taufiq, daripada pembaitan Abu Bakar.”
Selain itu, detik-detik genting kekuasaan, juga berkaitan dengan proses partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin yang baik. Terlebih untuk konteks zaman sekarang. Dalam mekanisme yang dipakai saat ini, pemilihan pemimpin dengan berbagai caranya, harus diposisikan oleh umat Islam sebagai bagian dari menjalankan perintah Alah di jalur kepemimpinan. Bahkan, memberikan mandat suara kepada pemimpin-pemimpin yang dzalim, bisa dikategorikan dosa.
4. Detik genting pada puncak pertarungan entitas
Kadang, esksitensi sebuah entitas, harus bertarung dengan entitas yang lain. Semacam cara untuk menetapkan siapa yang memang layak untuk tetap eksis dan siapa yang tidak. Dalam konteks masyarakat muslim, proses pembelaan terhadap entitas ini pernah terjadi hingga mencapai bentuknya yang paling puncak. Yaitu perang. Seperti yang terjadi pada perang Badar. Itu merupakan perang pertama. Pertaruhan antara hidup dan mati. Pertaruhan antar ada dan tiada.
Karenanya, sebelum perang, Rasulullah berdo’a sangat panjang kepada Allah SWT. “Ya Allah, buktikanlah kepadaku apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan. Ya Allah, jika Engkau binasakan jamaah dari golongan Islam ini, maka Engkau tidak akan disembah di muka bumi ini.”
Bagaimana tidak. Jumlah kaum muslimin saat itu hanya 319 orang. Sedang orang-orang musyrikin mencapi 1000 orang. Tetapi detik-detik genting itu bisa dilewati Rasulullah. Dengan pertolongan Allah dan juga dengan semangat juang yang gigih dari para sahabat-sahabatnya.
Pertarungan entitas kemusliman juga bisa terjadi pada sisi-sisi hidup yang lain. Pada sektor ekonomi, dengan penguasaan perdagangan misalnya, atau di jalur politik, dengan penguasaan parlemen misalnya. Di jalur budaya, akademis, dan lain-lainnya. Begitu seterusnya.
Oleh karena itu, yang terpenting bagi setiap muslim, adalah menyadari bahwa ketika ia menjadi muslim, kadang ia harus menunjukkan identitas kemuslimannya, mempertahankannya, mengunggulkannya, di tengah identitas yang lain.
5. Detik genting ketika sakaratui maut
Selain itu, saat genting lain, dalam kehidupan kita, adalah saat datangnya sakaratui maut. Ini pertarungan yang bahkan merupakan inti pertarungan, dalam kapasitas seseorang sebagai pribadi. Ini detik yang sangat menentukan. Puncak godaan datang dengan bentuk dan polanya yang sangat mengerikan dan mengguncang.
Karena itulah salah satu do’a yang diajarkan oleh Rasulullah, adalah doa mohon dimudahkan pada saat sakaratul maut. Juga mohon agar dijadikan akhir kehidupannya adalah khusnul khatimah.
Suatu hari, Rasulullah saw menghampiri Abu Salamah menjelang wafatnya. Ia mendapatinya dengan mata masih terbuka maka segera ditutupnya dan bersabda, “Sesungguhnya ruh, jika telah digenggam, mata mengikutinya, maka berteriaklah orang-orang dari keluarganya. Janganlah kalian berdoa atas diri kalian kecuali dengan kebaikan, karena sesungguhnya malaikat mengaminkan apa yang kalian katakan.”
Setelah itu, Rasulullah berdo’a, “Ya Allah, ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya di antara orang-orang yang mendapat petunjuk. Jadikanlah pengganti dari keturunan yang ia tinggalkan, dan ampunilah kami dan dia, wahai Tuhan semesta alam. Lapangkanlah kuburnya dan berilah cahaya di dalamnya.” (HR. Muslim)
Bahkan, Rasulullah sendiri, pada detik wafatnya, betul-betul mengharap pertolongan Allah untuk dimudahkan.
Aisyah berkata, “Aku menyaksikan Rasulullah saat menjelang kematiannya, di sisinya ada bejana berisi air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana lalu membasuh wajahnya dengan air itu kemudian beliau bersabda, ’Ya Allah, bantulah aku (menghadapi) sakratul maut.’” (HR Ibnu Majah).
Begitulah, setiap jenjang usia ada masa gentingnya. Masa di mana setiap kita harus menyadari, lalu mengerti bagaimana menyiasatinya, mengerti bagaimana melaluinya.
Sebagian dari masa-masa genting itu adalah pertaruhan hidup kita. Sebagian yang lain adalah pertaruhan hidup orang-orang yang ada dalam tanggungan kita. Begitulah seterusnya. Hidup, sejujurnya, berpilar pada seni melalui detik-detik genting itu.
Majalah Tarbawi Edisi 81 Th. 5/Shafar 1425 H/2 April 2004 M